air bet 88

    Release time:2024-10-08 00:03:40    source:zwolle   

air bet 88,asian4d claim bonus,air bet 88Jakarta, CNN Indonesia--

Gempuran Israelke Jalur Gaza Palestina belum juga mereda meski peperangannya dengan milisi Hamas telah berlangsung lebih dari sebulan.

Terlepas dari berbagai kecaman dan upaya boikot sebagian komunitas internasional, Israel bak tutup mata dan terus melancarkan serangan udara yang semakin membabi buta ke Gaza, termasuk ke kompleks permukiman sipil, rumah sakit, hingga kamp pengungsi.

Per Rabu (8/11), Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan sebanyak 10.569 warga Palestina tewas imbas serangan Israel di Gaza, dengan 4.324 di antaranya merupakan anak-anak dan 2.823 lainnya perempuan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Negara Barat terutama Amerika Serikat dan Inggris, sekutu dekat Israel, malah mendukung pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang kekeh menolak gencatan senjata.

AS cs menganggap Israel pantas membela diri dari "serangan teroris" Hamas pada 7 Oktober lalu, serangan pematik perang yang berkepanjangan hingga hari ini.

Di sisi lain, negara Arab dan mayoritas Muslim terus mendesak Israel menyetop agresinya ke Gaza. Beberapa negara juga sempat menggagas resolusi-resolusi di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) termasuk di Dewan Keamanan soal situasi di Gaza.

Namun, sejumlah resolusi gagal diadopsi lantaran diveto oleh AS dan sekutu. Sejauh ini, resolusi yang berhasil diadopsi soal Gaza yakni resolusi ES-10/21 yang disepakati pada 27 Oktober lalu.

Resolusi yang diadopsi pada rapat darurat ke-10 Majelis Umum PBB terkait perang Hamas-Israel itu menyerukan gencatan senjata kemanusiaan "segera dan berkelanjutan" dan penghentian permusuhan, mengutuk "semua tindakan kekerasan yang ditujukan terhadap warga sipil Palestina dan Israel", dan "menuntut semua pihak segera dan sepenuhnya mematuhi kewajiban mereka berdasarkan hukum internasional".

[Gambas:Video CNN]

Sementara itu, pada sesi tertutup yang digelar Senin (6/11), DK PBB untuk kesekian kalinya gagal mengadopsi resolusi. AS dan Inggris memveto draf tersebut karena menolak untuk menyertakan seruan gencatan senjata segera di Gaza.

Padahal, banyak anggota DK PBB yang mendukung seruan ini guna meminimalisir korban sipil dan menyalurkan bantuan kemanusiaan sesegera mungkin.

Ketimbang gencatan senjata, AS lebih setuju dengan "jeda kemanusiaan". Hal ini jelas memicu pertentangan di antara anggota dewan lantaran kondisi Gaza yang sudah kian mengenaskan.

Resolusi sendiri baru bisa diadopsi jika didukung oleh setidaknya sembilan dari 15 negara anggota dan tak ada hak veto yang digunakan oleh salah satu dari lima anggota tetap. Lima anggota tetap DK PBB ialah AS, Inggris, Rusia, China, Prancis.

Resolusi-resolusi sebelum ini juga gagal diadopsi karena berbagai alasan mulai dari tak ada kecaman tegas terhadap serangan Hamas, tak ada penyebutan soal hak Israel membela diri, hingga tak ada seruan untuk gencatan senjata penuh.

Dengan situasi yang ada, kenapa PBB seakan tak mampu berbuat apa-apa untuk menyetop agresi Israel ke Palestina?

Pilihan Redaksi
  • Israel Serang Lagi Kamp Pengungsi Jabalia Gaza, 68 Orang Tewas
  • Alasan Warga Gaza Mengungsi Bawa Bendera Putih: Takut Diserang Israel
  • Rumah Sakit Al-Quds Nyaris Lumpuh Total, 500 Pasien Terancam

Guru Besar Hukum Internasional, Hikmahanto Juwana, mengatakan hukum internasional pada hakikatnya tidak mengikat secara hukum. Karena itu, pada akhirnya, menurutnya, yang paling berpengaruh dalam politik internasional adalah "hukum rimba".

Terlepas dari berbagai sistem dan aturan internasional yang ada, Hikmahanto menilai pada akhirnya yang terkuat lah yang mampu menguasai sistem.

Ini, kata Hikmahanto, juga terjadi di PBB yang menurutnya lemah atas kekuatan Amerika Serikat selaku pendukung Israel.

"Kita tahu bahwa ketika berhadapan dengan Hamas, Israel pasti kuat. Dan ketika dunia berhadapan dengan Israel, di belakangnya ada Amerika Serikat dan Amerika Serikat kuat, sehingga terlihat bahwa seolah-olah dunia tidak bisa melakukan apa pun, tidak berkutik," kata Hikmahanto dalam wawancara bersama CNN Indonesia TV.

"Ini yang saya katakan hukum rimba yang berlaku," lanjut dia.

Berlanjut ke halaman berikutnya >>>

Sementara itu, analis kebijakan luar negeri yang fokus pada kajian Timur Tengah dan Afrika Utara, Alexander Langlois, menilai kegagalan PBB menghentikan agresi Israel di Gaza mencerminkan betapa "persaingan kekuatan besar dan kepentingan geopolitik" sangat mempengaruhi prinsip-prinsip badan tersebut.

Langlois mengatakan PBB memiliki sistem yang dikenal sebagai tatanan internasional liberal atau tatanan internasional berbasis aturan, yang dikembangkan setelah Perang Dunia II.

Lihat Juga :
ANALISISApa yang Bisa Setop Agresi Israel di Gaza?

Sistem ini, dengan PBB sebagai intinya, dirancang "untuk mencegah konflik antar negara dan menjaga stabilitas melalui kedaulatan."

Namun, kata dia, mereka yang merancang sistem ini memberikan diri mereka sendiri "kartu truf utama" yakni hak veto yang berlaku kepada lima anggota tetap DK PBB.

"Keputusan ini memperkuat peran politik negara-negara besar dalam sistem PBB, memberikan ruang bagi negara-negara paling kuat di dunia untuk mendikte politik internasional demi kepentingan mereka. Dengan demikian, setiap anggota tetap telah menghasilkan veto yang membawa dampak buruk," ucapnya.

Dia mencontohkan, upaya Rusia memblokir masalah hak asasi manusia dan diplomasi di negara-negara seperti Ukraina dan Suriah "merupakan penggunaan hak veto yang paling mengerikan di DK PBB."

"Washington kini melakukan hal yang sama di Gaza, memilih untuk mengadopsi pendekatan Rusia [di masa lalu]," kata Langlois seperti dikutip New Arab.

[Gambas:Photo CNN]

AS dinilai mengikuti jejak Rusia yang telah melakukan serangan tanpa pandang bulu terhadap "teroris" dan "Nazi", dan menargetkan infrastruktur sipil di Ukraina dan Suriah.

"Persamaan ini menunjukkan kepentingan geopolitik yang menggantikan tatanan internasional yang berbasis aturan. Rusia dan Amerika Serikat menerapkan hukum internasional dan upaya resolusi konflik demi kepentingan nasional mereka, bukan untuk mendukung altruisme atau sistem internasional," tuturnya, seperti dikutip dari The New Arab.