lapak gaming store

    Release time:2024-10-08 04:13:55    source:ikan lele erek erek   

lapak gaming store,no togel gelang,lapak gaming storeJakarta, CNN Indonesia--

Majelis Permusyawaratan Rakyat dinilai sedang berupaya mengembalikan pamor politik lembaga negara itu lewat sejumlah manuver termasuk pencabutan nama presiden-presiden terdahulu dari 'dosa' yang tertuang dalam Ketetapan (TAP) MPR.

Ketua MPR RI periode 2019-2024 Bambang Soesatyo sebelumnya mengumumkan pencabutan TAP MPR Nomor II/MPR/2001 tentang pemberhentian Abdurrahman Wahid alias Gus Dur selaku Presiden keempat RI dalam Sidang Paripurna pada Rabu (25/9) kemarin.

Dalam kesempatan yang sama, MPR turut mencabut nama Presiden kedua RI Soeharto dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang perintah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih tanpa Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tak hanya itu, dalam sidang akhir masa jabatannya MPR juga merekomendasikan agar wacana amandemen UUD 1945 kelima dapat dilanjutkan oleh DPR periode 2024-2029.

Lihat Juga :
Pimpinan MPR Dorong Soeharto dan Gus Dur Diberi Gelar Pahlawan

Anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS) Herdiansyah Hamzah 'Castro' menilai pelbagai manuver itu sengaja dilakukan MPR di penghujung masa jabatan periode 2019-2024 untuk mendorong posisi politik  'mengembalikan' lembaga tersebut di dalam tatanan hukum tata negara Indonesia sebelum amandemen keempat UUD 1945.

Melalui pencabutan serta adanya ketentuan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI dengan TAP MPR, menurutnya, MPR sedang berupaya membangun kembali otoritasnya sebagai lembaga legislatif.

"Ada semacam intensi untuk menghidupkan kembali posisi TAP MPR. Tujuannya jelas untuk mengembalikan otoritas MPR," jelasnya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (26/9).

Castro mengatakan dugaan tersebut bukannya tanpa alasan. Di satu sisi, dia menjelaskan langkah pencabutan TAP MPR yang dilakukan di era kepemimpinan Bambang Soesatyo sudah keliru sejak awal.

Sesuai dengan ketentuan yang ada, kata dia, seharusnya TAP MPR hanya bisa dicabut jika telah dikeluarkan TAP MPR baru yang isinya menganulir ketentuan sebelumnya.

Selain itu, Castro mengingatkan pascaamendemen keempat UUD 1945, MPR tidak lagi berstatus sebagai lembaga tertinggi negara.

Oleh sebab itu, ia menyebut MPR sudah tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengeluarkan produk hukum berupa TAP MPR yang bersifat mengatur, melainkan hanya bisa bersifat penetapan semata.

"Mustahil TAP MPR bisa dibatalkan hanya dengan sekedar kesepakatan dalam rapat MPR, yang namanya TAP MPR hanya bisa dicabut dengan TAP MPR juga," tutur Castro.

Lihat Juga :
Alasan MPR Bersihkan Nama Soeharto di TAP MPR 11/1998 soal KKN

Cipta kondisi

Atas dasar itu semua, Castro menilai rangkaian manuver yang dilakukan oleh MPR saat ini tidak ubahnya seperti upaya pengondisian dengan tujuan utama melakukan kembali amandemen UUD 1945 atau perubahan kelima.

"Kalau kita baca baik-baik ini seperti semacam prakondisi yang ujungnya untuk menggelar karpet merah untuk proses amandemen UUD 1945, arahnya pasti kesana," ujarnya.

Di sisi lain, ia menyebut adanya rekomendasi dari MPR agar wacana amendemen UUD 1945 dapat dilanjutkan pada periode mendatang juga semakin menegaskan apabila tujuan utamanya memang ingin mengembalikan posisi MPR.

"Kalau melihat secara genealogi politiknya, hampir semua orang-orang di DPR-MPR adalah faksi pemerintahan, otomatis tidak akan sulit untuk menjalankan agenda besar terutama proses amandemen UUD," jelasnya.

Apabila wacana amendemen itu terwujud, kata Castro, bukan tidak mungkin MPR bakal kembali memiliki kewenangan dan menjadi lembaga tertinggi melebihi presiden.

"Kalau amendemen UUD 1945 yang agendanya mengembalikan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi maka semua bisa dilakukan," tuturnya.

"Dia [MPR] yang pilih presiden, dia yang menentukan GBHN, kekuasaan tertinggi ada di dia, representasi kedaulatan rakyat ada di dia, semua bisa dilakukan," imbuhnya.

Berlanjut ke halaman berikutnya...

Lihat Juga :
Beda dengan Sebelumnya, Pelantikan Prabowo-Gibran Akan Masuk TAP MPR

Di sisi lain, Pengamat politik Agung Baskoro memandang upaya pencabutan TAP MPR yang dilakukan beberapa waktu terakhir itu menjadi upaya rekonsiliasi yang timbul akibat Pilpres 2024 kemarin.

"Agar pasca-Pilpres [2024] semua kembali guyub, dengan dicabutnya TAP MPR soal Sukarno, Soeharto dan Gus Dur harapannya bisa merelaksasi relasi yang tegang tadi agar lebih cair," jelasnya.

"Karena bagi para pihak terkait, TAP MPR itu menyangkut kepingan sejarah yang belum tuntas dan dengan dicabutnya aturan ini menjadi oase politik yang menyegarkan," sambung Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis tersebut.

Agung mengatakan dengan adanya pencabutan TAP MPR itu, maka tidak ada lagi beban sejarah yang diwariskan dari era Presiden Joko Widodo kepada Prabowo Subianto yang akan dilantik pada 20 Oktober mendatang.

Lihat Juga :
Pakar Hukum: Pelantikan Prabowo-Gibran Tak Perlu Pakai TAP MPR

Kotak pandora amendemen UUD 1945

Kendati demikian, ia mendorong agar upaya rekonsiliasi itu tidak dilanjut dengan wacana amendemen UUD 1945 dari MPR. Menurutnya, isu amendemen kelima UUD 1945 masih memerlukan kajian yang komprehensif sehingga tidak menjadi bumerang di masa depan.

Agung menilai belum ada faktor mendesak untuk segera melakukan amendemen UUD 1945 di masa pemerintahan yang akan datang. Apalagi saat ini dunia juga sedang dilanda resesi ekonomi serta ketidakpastian situasi geopolitik global.

"Jangan sampai ini membuka kotak pandora yang kalau tak bijak disikapi malah bisa berujung pada gonjang-ganjing bagi stabilitas nasional secara keseluruhan," tuturnya.

"Soal amendemen ini sebaiknya ditunda dulu. Karena situasinya tak kondusif dan relevansinya belum mendesak. Bila dipaksakan malah beresiko menghadirkan blunder baru bagi pemerintahan baru," kata Agung.


Sebagai informasi, setelah amendemen keempat UUD 1945 pascareformasi 1998, MPR tak lagi menjadi lembaga tertinggi negara seperti sebelumnya. Kedudukan MPR yang sebelum reformasi adalah lembaga tertinggi pun direposisi sehingga lembaga berkedudukan setara dengan lembaga negara lainnya dalam UUD 1945 hasil perubahan.

Beberapa wewenang yang dipotong dari MPR adalah kewenangan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, penyusunan GBHN, serta TAP MPR yang diputuskan tak lagi jadi sumber hukum negara.

Lihat Juga :
Sidang MPR Rekomendasi Amendemen UUD Kelima Dilanjut Periode Baru