ligadewa login

    Release time:2024-10-08 04:04:34    source:menang 234   

ligadewa login,pengantin 2d togel,ligadewa loginJakarta, CNN Indonesia--

Pemerintah sudah sekian kali merayu Tesla untuk berinvestasi di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir. Bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) turun gunung langsung melobi Bos Tesla Elon Musk.

Sayangnya, rayuan tersebut tak kunjung berbuah hasil.

Baru-baru ini Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan nasib investasi Tesla di RI. Kata dia, Musk saat ini menilai pasar kendaraan listrik sedang lesu dan menimbang investasi baru di mana pun masih menunggu kestabilan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lihat Juga :
Boeing Buka Suara soal Turbulensi Maut yang Menimpa Singapore Airlines

Selain itu, pabrik Tesla di Meksiko dan Jerman dikatakan Luhut sedang menjalani pengurangan produksi. Langkah ini disebut mempertimbangkan kondisi pasar dunia.

Ia juga tak memastikan kapan investasi Tesla di RI akan terealisasi. Kendati, pasar Indonesia menurutnya menjadi salah satu alternatif yang baik bagi Tesla.

"Jadi mereka masih mau melihat pasar dunia lebih tenang, nanti baru mereka akan masuk dan Indonesia saya kira akan menjadi alternatif yang sangat baik," kata dia.

Musk memang sempat menyatakan minatnya berinvestasi di Indonesia setelah meresmikan layanan Starlink di Bali pada Minggu (19/5) kemarin. Meski begitu, ia tak merinci investasi itu bakal dilakukan melalui perusahaan yang mana.

Lihat Juga :
Basuki Enggan Pindah ke IKN Sebelum Ada Air Bersih: Mandi Pakai Apa?

Pengusaha berusia 53 tahun kelahiran Afrika Selatan itu memimpin banyak perusahaan, termasuk SpaceX bidang keantariksaan, media sosial X dan mobil listrik Tesla.

"Kami sepertinya bakal berinvestasi di Indonesia. Hari ini pengumuman tentang Starlink. Jadi saya ingin memberikan pengumuman lebih lanjut di kesempatan lain," ujar Musk saat peresmian tersebut.

"Tapi saya kira akan sangat mungkin. Saya akan sangat mungkin menginvestasikan perusahaan saya di Indonesia pada masa depan," tambah dia.

Pemerintah hingga saat ini belum sukses menarik minat Musk untuk berinvestasi, terutama pada produksi mobil listrik dan baterainya. Lobi ini didorong fakta Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, yang merupakan salah satu bahan baku utama baterai mobil listrik.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga pada 2022 silam sempat mengunjungi markas SpaceX di Amerika Serikat (AS). Kala itu, Musk menyatakan Indonesia mempunyai potensi besar dan ia berencana bekerja sama di Indonesia.

Lihat Juga :
Membandingkan Pertumbuhan Ekonomi RI dengan 5 Negara ASEAN

Mobil listrik Tesla saat ini tersedia di Indonesia, tetapi distribusinya dilakukan oleh importir umum. Hingga kini, Tesla belum memiliki perwakilan resmi untuk bisnis penjualan mobil listrik di Indonesia.

Pemerintah pun tak menyerah. Jokowi hingga Luhut kembali melobi Bos Tesla itu di sela gelaran WWF ke-10 di Bali agar mau berinvestasi di Indonesia.

Lantas sebenarnya apa alasan Indonesia hingga kini kesulitan menggaet investasi Tesla?

Lanjut ke halaman berikut....

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita berpendapat sebenarnya ekosistem investasi Indonesia belum sekomprehensif China, India, bahkan negara tetangga Malaysia.

Menurutnya, bermodal nikel semata tentu tidak bisa serta-merta membuat investor kendaraan listrik mudah digaet. Ia merinci sejumlah alasan Tesla tak kunjung berinvestasi di RI. Pertama, terkait posisi Indonesia di dalam peta global supply chain yang kurang strategis.

"Sehingga kebutuhan produsen kendaraan listrik untuk bahan baku dan bahan setengah jadi lainnya selain nikel masih harus diimpor, termasuk microchip dan banyak lagi," ujar Ronny kepada CNNIndonesia.com, Selasa (21/5).

"Hanya bermodalkan nikel dan berbagai insentif investasi masih jauh dari cukup untuk mengundang Tesla berinvestasi membangun pabrik kendaraan listrik di sini," sambungnya.

[Gambas:Photo CNN]

Kedua, ketersediaan sumber daya manusia (SDM) berkualitas dinilai masih rendah. Imbasnya, Tesla butuh investasi tambahan yang besar untuk menghadirkan SDM yang dibutuhkan.

Ketiga, perkembangan pasar kendaraan listrik kelas premium seperti Tesla, sangat lambat di Indonesia karena faktor harga yang dianggap masih terlalu mahal.

"Membangun pabrik kendaraan listrik Tesla di Indonesia masih belum 'layak' bisnis karena ceruk pasarnya masih sangat terbatas. Pasar yang kecil itu pun didominasi oleh pabrikan Korea dan China, yang harganya jauh lebih ramah dibanding Tesla," jelasnya.

Keempat, Tesla memandang praktik penambangan nikel di Indonesia masih tidak ramah lingkungan. Kelima, industri pengolahan nikel di Indonesia dinilai masih sangat China-sentris.

"Supply chain nikel Indonesia mayoritas dikuasai China sementara saat ini ketegangan dagang antara China dan Amerika masih berlangsung," tutur Ronny.

Keenam, Ronny menduga Tesla juga sedang mengemban amanat geopolitik dari negaranya untuk tidak terlalu memberi angin kepada Indonesia, selama Indonesia masih bermain 'dua kaki' di pentas geopolitik dunia.

"Bahkan Indonesia sudah terkesan lebih dekat kepada China ketimbang Amerika. Jadi bagi Tesa, opsi berinvestasi atau tidak di Indonesia juga dipengaruhi oleh sikap geopolitis pemerintahan Amerika dalam memandang Indonesia di pentas dunia," jelas dia.

Lihat Juga :
Menkes Mau Datangkan Dokter Asing, Tiru Naturalisasi ala Timnas Bola

Setali tiga uang, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal pun menjelaskan salah satu pertimbangan sebuah entitas bisnis teknologi ingin menanamkan modalnya di suatu negara adalah kapasitas dari sisi ekosistemnya.

"Karena mereka membutuhkan ekosistem pendukung. Jadi bukan hanya sekadar suka atau tidak suka di Indonesia. Menarik atau tidaknya juga melihat ekosistemnya. Kalau tidak ada, bagaimana bisa berkembang dengan baik?" jelas Faisal.

"Dia (perusahaan teknologi) pasti akan melihat (sebuah perusahaan) itu amatiran atau profesional, kemudian ada dukungan infrastruktur, ekosistem atau tidak, banyak yang harus dilihat," sambungnya.

Ia kemudian membandingkan dengan Malaysia dan Vietnam. Faktanya, lebih banyak perusahaan teknologi tinggi yang tertarik menanamkan modal ke sana karena ekosistem di negara tersebut sudah lebih siap daripada Indonesia.

Kendati dari sisi tingkat upah di Indonesia lebih murah, namun negara-negara sebelah dinilai memiliki kesiapan ekosistem yang dibutuhkan, yang lebih esensial bagi industri teknologi agar mereka dapat beroperasi.

Hematnya, hal ini lah yang perlu dipikirkan Indonesia. Pemerintah perlu mencatat bahwa membangun ekosistem semacam ini tidak bisa sekejap mata atau dengan cara-cara yang sifatnya mencari target-target jangka pendek.

Lihat Juga :
Siap-siap, HET Beras Naik Bulan Depan

"Butuh waktu panjang untuk membangun ini, puluhan tahun. Jadi kalau pola pikirnya cuman 2-3 tahun untuk membangun, ya susah untuk bisa menguasai satu industri teknologi atau menarik investasi di teknologi," jelas Faisal.

"Itu yang perlu dipikirkan, bagaimana pola pikir yang lebih komprehensif dalam kebijakan dan lebih bersifat jangka panjang yang tidak hanya jangka pendek," lanjutnya.

Faisal pun mengungkap kenapa Indonesia sangat mencita-citakan perusahaan high tech, seperti Tesla maupun Apple, menanamkan modal di dalam negeri. Menurutnya, kemampuan sebuah negara untuk membangun industri teknologi bisa berpengaruh pada nilai tambah (value added) negara tersebut.

Hal ini, menurut dia, dapat meningkatkan posisi Indonesia dalam rantai pasok dunia, bukan lagi sebagai pemasok bahan baku komoditas saja, namun lebih banyak juga ke industri yang bernilai tinggi, seperti industri high tech. Dengan mendorong industri ini, menarik investasinya, dan menciptakan rantai pasok di dalam negeri, diharapkan ada nilai tambah terhadap pertumbuhan ekonomi.

"Jadi kalau posisi kita bisa menguasai yang lebih high value added, lebih cepat tercapai untuk bisa berdampak kepada pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Itu yang diharapkan. Itu yang sebetulnya ingin disasar," jelasnya.

[Gambas:Video CNN]