ambulan togel

    Release time:2024-10-07 21:53:58    source:key777 login   

ambulan togel,rtp brri4d,ambulan togelJakarta, CNN Indonesia--

Ekonom Senior Indef Faisal Basri meninggal dunia pada Kamis (5/9) dini hari. Ia dikenal sebagai ekonom yang kerap lantang mengkritik pemerintah, termasuk di era Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Kritik yang ia lontarkan menyinggung berbagai persoalan, mulai dari utang pemerintah hingga hilirisasi nikel yang dibangga-banggakan pemerintah.

Sikap kritis Faisal pun diakui oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Saat mengunjungi rumah duka Faisal, Luhut mengatakan sikap kritis sang ekonom diperlukan sebagai masukan bagi pemerintah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya sampaikan selamat jalan Pak Faisal Basri dan istirahatlah dengan tenang. Kami masih meneruskan banyak pekerjaan-pekerjaan yang Anda kritik, yang menurut saya juga ada yang benar dan kita juga akan perbaiki," imbuh dia lebih lanjut.

Berikut deret kritik Faisal Basri untuk pemerintahan Jokowi:

1. Rencana PPN Naik Jadi 12 Persen

Faisal Basri mengkritik rencana pemerintah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 2025. Menurutnya, kebijakan itu hanya akan menambah beban rakyat kecil.

Faisal mengatakan jika PPN dinaikkan menjadi 12 persen, pendapatan negara paling hanya bertambah kurang dari Rp100 triliun. Sedangkan jika saja batu bara dikenakan pajak ekspor, pendapatan negara bisa bertambah Rp200 triliun.

"Lagi-lagi kan yang dirugikan (rakyat) yang kecil. Ini yang moral sentimennya jauh dari yang kita lihat di era Jokowi ini," katanya dalam Diskusi Publik INDEF Kemerdekaan dan Moral Politik Pemimpin Bangsa, Senin (19/8).

Menurutnya, kebijakan itu tidak adil bagi rakyat kecil, karena korporasi besar justru diberikan insentif.

"Insentif diberikan kepada korporasi yang besar sementara rakyat dibebani terus. Hampir pasti kelihatannya PPN akan naik (jadi) 12 persen," katanya.

Lihat Juga :
OBITUARIFaisal Basri, Ekonom Kritis di Balik Pembubaran Petral Kini Berpulang

2. Tapera

Ia juga mengkritik Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang akan memotong gaji karyawan 2,5 persen per bulan. Menurutnya, program itu akan membebani masyarakat yang daya belinya sudah turun.

"Tapera sih agak lain ya. Daya beli sedang tertekan, digembosin lagi dengan upah buruh 2,5 persen dipotong untuk Tapera," katanya di Jakarta Pusat, Kamis (4/7).

Faisal mengatakan dengan potongan 2,5 persen, pekerja tetap akan membutuhkan waktu lama untuk membeli rumah karena harga tanah naik terus.

Ia mengatakan jika program Tapera tetap ingin dijalankan, maka iuran dari pekerja harus dikurangi maksimal 1,5 persen. Sedangkan iuran dari perusahaan dinaikkan karena perusahaan mendapatkan potongan tarif pajak penghasilan badan dari 25 persen menjadi 22 persen.

Agar pekerja bisa mendapatkan rumah, sambungnya, pemerintah harus mengontrol harga tanah lewat Bank Tanah.

"Tapi pemerintah mendirikan Bank Tanah bukan buat public housing, tapi buat investor. Jadi enggak ada yang buat rakyat. Rakyat ditekan saja," katanya.

Lihat Juga :
4 Sepak Terjang Faisal Basri, dari Sikat Mafia Migas-Tim Satgas TPPU

3. Family Office

Faisal juga mengkritik rencana pembentukan family office karena tidak menambah pendapatan negara sebab uang orang kayanya tidak dipajaki.

"Tujuannya apa? Menambah cadangan devisa? Enggak. Saya enggak begitu paham. Kan ada masalah yang kita hadapi, industri mengalami pelambatan, mereka (investor) enggak bangun pabrik di sini," katanya di Jakarta Pusat, Kamis (4/7).

Faisal mempertanyakan tujuan pemerintah membentuk family office. Ia khawatir family office menjadi tempat pencucian uang seperti yang terjadi di Singapura.

"Di Singapura yang hukumnya bagus saja sekarang menahan diri menciptakan (family office) karena dia tidak mau lagi diperlakukan atau di-image-kan sebagai negara tempat pencuci uang," katanya.

Ia pun mempertanyakan apakah pemerintah benar-benar sudah siap untuk membentuk family office dengan berbagai konsekuensinya.

"Jangan-jangan ada judi online, narkoba, pelaku-pelakunya di luar pakai nama orang bikin familly office. Bisa saja seperti itu. Pertanyaannya siap tidak?," katanya.

4. Bansos Jelang Pilpres

Faisal sempat hadir sebagai ahli dari tim Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dalam sidang sengketa hasil Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK) pada April lalu. Dalam sidang, ia mengatakan mengatakan bahwa bantuan sosial (bansos) itu merupakan kewajiban negara, bukan bentuk dari belas kasihan atau murah hati.

Pernyataan tersebut untuk menjawab pertanyaan Otto Hasibuan, pengacara dari Tim Kuasa Hukum Prabowo-Gibran yang mempertanyakan apakah ada yang salah jika pemerintah menyalurkan bansos jelang Pilpres 2024.

"Kalau bansos itu seolah-olah belas kasihan, kemurahhatian, enggak, ini adalah kewajiban negara untuk mengentaskan orang miskin untuk tidak jadi miskin, dan orang yang belum miskin tidak masuk ke jurang kemiskinan. Itulah perlindungan sosial," tegas Faisal.

Menurutnya, yang menjadi masalah adalah jenis bansosnya semakin banyak. DPR tentunya menyetujui usulan untuk pengadaan bansos. Namun ketika di tengah jalan para menteri menyebutkan bansos berasal dari Jokowi pribadi, DPR tentu tidak akan menyetujuinya.

"Tapi varian bansosnya semakin banyak. Disetujui DPR? Tentu. Tapi tambah di tengah jalan, tidak disetujui DPR. Pelaksanaannya dilaksanakan oleh para menteri, dengan kamuflase ini dari Pak Jokowi, enggak disepakati oleh DPR. Impor (beras) disuruh 3 juta? Tidak persetujuan DPR." pungkasnya.

Ia pun menyebut bansos yang dibagikan rezim Jokowi merupakan bentuk politik gentong babi atau pork barrel jelang Pilpres 2024. Kiasan ini merujuk pada pengeluaran pejabat atau politisi untuk daerah pemilihannya sebagai imbalan atas dukungan politik, baik dalam bentuk kampanye atau suara pada pemilu.

"Secara umum pork barrel di negara berkembang wujudnya berbeda dari negara maju karena pendapatan masyarakat yang masih rendah dan tingkat kemiskinan yang tinggi. Di negara berkembang seperti Indonesia implementasi pork barrel biasanya berwujud bansos atau sejenisnya," kata Faisal.

Lihat Juga :
Chatib Kenang Faisal Basri: Di Tangannya, Ketidakadilan Temukan Musuh

5. Hilirisasi Nikel

Faisal menilai konsep hilirisasi ala Jokowi ugal-ugalan. Melalui blog pribadinya, Faisal menilai angka-angka terkait kenaikan nilai tambah ekspor dari Rp17 triliun ke Rp510 triliun berkat hilirisasi nikel yang disampaikan Jokowi tidak jelas sumbernya.

"Angka-angka yang disampaikan Presiden tidak jelas sumber dan hitung-hitungannya. Presiden hendak meyakinkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel amat menguntungkan Indonesia dan tidak benar tuduhan bahwa sebagian besar kebijakan hilirisasi dinikmati oleh China," ujar Faisal dalam unggahan blog itu.

Faisal mengakui hilirisasi membuat nilai tambah produk ekspor melonjak, tetapi tak sebesar klaim Jokowi.

"Terlepas dari perbedaan data antara yang disampaikan Presiden dan hitung-hitungan saya, memang benar adanya bahwa lonjakan ekspor dari hasil hilirisasi, yaitu 414 kali lipat sungguh sangat fantastis," ujarnya.

Kendati demikian, menurut Faisal, uang hasil ekspor itu tidak benar-benar mengalir ke Indonesia. Pasalnya, hampir seluruh perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100 persen dimiliki China, sementara Indonesia menganut rezim devisa bebas. Artinya, perusahaan China berhak untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri.

Selain itu, ekspor olahan bijih nikel bebas pajak dan pungutan lainnya. Berbeda dengan ekspor sawit dan turunannya yang dikenakan bea keluar dan pungutan ekspor.

"Jadi, penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar," terangnya.

Tak hanya itu, sambung Faisal, perusahaan nikel China di Indonesia juga tidak membayar royalti. Pasalnya, yang membayar royalti adalah perusahaan penambang nikel yang hampir semua adalah pengusaha nasional. Ketika masih dibolehkan mengekspor bijih nikel, pemerintah masih memperoleh pemasukan dari pajak ekspor.

"Hilirisasi ugal-ugalan seperti yang diterapkan untuk nikel sangat sedikit meningkatkan nilai tambah nasional. Nilai tambah yang tercipta dari kebijakan hilirisasi dewasa ini hampir seluruhnya dinikmati oleh China dan mendukung industrialisasi di China, bukan di Indonesia," sambungnya.

Karena itu, ia menilai hilirisasi nikel jauh lebih menguntungkan bagi China. Berdasarkan perhitungan Faisal, nilai tambah smelter nikel sebagian besar dinikmati perusahaan China. Indonesia hanya menikmati 10 persen.

Hal itu bukan tanpa alasan. Pertama, hampir seluruh smelter nikel milik pengusaha China. Karena dapat fasilitas tax holiday, tak satu persen pun keuntungan itu mengalir ke Tanah Air. Kedua, hampir seratus persen modal berasal dari perbankan China, maka pendapatan bunga juga hampir seluruhnya mengalir ke China.

[Gambas:Photo CNN]

6. Utang Pemerintah Bengkak

Masalah utang era Jokowi kerap disoroti faisal. Menurutnya, utang yang membengkak tidak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi yang stagnan di level 5 persen.

"Kok utang tambah banyak tapi pertumbuhan ekonomi turun. Era SBY (pertumbuhan ekonomi) 6 persen, era Jokowi 5 persen. Di era Jokowi 5 (persen) terus, katanya berutang itu untuk mempercepat pembangunan," katanya dalam diskusi Reviu RAPBN 2025: Utang Ngegas di Jakarta, Rabu (21/8).

Menurut Faisal, kondisi itu terjadi lantaran proses utang yang tidak benar, tercermin dari tingginya nilai Incremental Capital Output Ratio atau ICOR saat ini. Indikator ini dipakai untuk mengukur tinggi atau rendahnya biaya investasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Semakin besar nilainya, maka semakin tak efisien investasi di suatu negara.

Ia mengatakan sejak era Soeharto hingga SBY, ICOR Indonesia berada di level 4 hingga 4,6. Sedangkan di era Jokowi periode pertama mencapai 6,5 dan pada periode kedua di level 7.

"Jadi contohnya untuk membangun 1 kilometer jalan dibutuhkan 50 persen tambahan modal lebih banyak di era Jokowi periode satu, dan lebih tinggi lagi di era Jokowi dua. Jadi selama era Jokowi ekonomi Indonesia melemah kualitasnya," katanya.

Ia pun membandingkan dengan era Orde Baru di mana utang membengkak tetapi pertumbuhan ekonomi juga ikut terkerek. Hal itu katanya karena Presiden Soeharto saat itu mewajibkan seluruh utang digunakan untuk pembangunan.

"Seluruh utang di zaman Orde Baru wajib untuk pembangunan, enggak boleh buat bayar gaji. Oleh karena itu, utang itu namanya penerimaan pembangunan," katanya.

Sementara itu, Jokowi akan mewariskan utang lebih dari Rp8.000 triliun kepada Presiden Terpilih Prabowo Subianto.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam buku APBN KiTa mencatat, per semester I 2024 saja, utang pemerintah sudah mencapai Rp8.444,87 triliun. Jumlah itu setara 39,13 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

[Gambas:Video CNN]